Halo Sobat Masrizky.id, berjumpa lagi ya di blog yang sama, dalam kesempatan kali ini admin akan berbagi informasi terbaru terkait Terjebak dalam Arus Trend Menilai Standar Hidup Berdasarkan Sosial Media.
Siapa yang tidak tergoda oleh tren terbaru? Di zaman serba digital ini, kita disuguhkan beragam gaya hidup, ide, dan standar kesuksesan yang terlihat sempurna di layar.
Berkat media sosial, apa yang dulu dianggap “berlebihan” kini menjadi “harus” bagi sebagian orang. Sayangnya, ini memunculkan fenomena baru: standar hidup yang ditentukan oleh apa yang kita lihat di sosial media, bukan oleh kebutuhan atau realitas kondisi pribadi.
Mengikuti atau Menjadi Pengikut?
Mungkin kita pernah melihat seseorang yang mendadak ikut diet mahal atau membeli gadget terbaru hanya karena viral, bukan karena kebutuhan. Hal ini sering kali diawali dari dorongan untuk merasa tidak ketinggalan, dikenal dengan istilah fear of missing out (FOMO).
Meski kadang tak disadari, FOMO bisa membuat seseorang mudah diarahkan, sehingga perilaku dan keputusan hidupnya dikendalikan oleh tren yang mungkin sebenarnya tidak relevan.
Perusahaan, selebriti, hingga influencer kerap memanfaatkan situasi ini. Melalui iklan atau konten yang terlihat personal, mereka menanamkan ide bahwa untuk “bahagia” atau “berhasil,” kita harus mengikuti langkah mereka. Padahal, kebahagiaan tidak bisa diukur dari barang atau gaya hidup yang terus diperbarui mengikuti tren.
Hidup Berdasarkan Standar Viral dan Konsekuensinya
Ketika standar hidup seseorang diukur dari apa yang viral, konsekuensi jangka panjang bisa mempengaruhi mental dan finansial. Banyak yang rela mengorbankan kenyamanan finansial demi membeli barang atau mengikuti gaya hidup tertentu.
Secara psikologis, ini juga bisa menyebabkan perasaan rendah diri dan kecemasan, karena merasa “tidak cukup” hanya karena hidupnya tidak selaras dengan feed media sosial orang lain.
Yang jarang disadari, para influencer dan selebriti yang kerap mengunggah gaya hidup mewah sering kali telah disponsori, sehingga tampak lebih terjangkau dan mudah diakses. Masyarakat yang melihat hal ini lalu terpicu untuk berusaha keras mengejar standar tersebut, tanpa mengetahui realitas di baliknya.
Realitas Hidup Antara Kebutuhan dan Keinginan
Berpikir realistis adalah kunci untuk menghindari jebakan tren. Memahami perbedaan antara kebutuhan dan keinginan bisa menjadi langkah awal. Tanyakan pada diri sendiri, apakah mengikuti tren ini benar-benar perlu? Ataukah ini hanya hasrat sementara yang dipengaruhi oleh media sosial?
Mulai dengan menilai prioritas yang sesuai dengan situasi pribadi. Sering kali, yang terlihat menarik di sosial media hanyalah kulit luar dari kehidupan seseorang. Tidak perlu mengadopsi semua tren untuk merasa “cukup” atau “bahagia.”
Menemukan Kepuasan yang Sejati
Dengan kembali kepada kebutuhan asli dan nilai pribadi, seseorang bisa menemukan cara hidup yang lebih memuaskan. Fokuslah pada kualitas hidup yang dirasakan, bukan yang dipertontonkan. Terkadang, hidup sederhana yang konsisten jauh lebih membahagiakan dibandingkan terus-menerus mengejar standar yang tidak pernah cukup.
Kesimpulannya, jangan biarkan media sosial menjadi tolak ukur utama. Kebutuhan, kebahagiaan, dan kesuksesan memiliki definisinya masing-masing bagi setiap orang. Tetaplah berpijak pada kenyataan dan temukan cara hidup yang benar-benar sesuai, bukan yang hanya terlihat indah di layar.